Kakawin Kebo Tarunantaka, Dharma Nusantara Ksatrya Bali Oktober 16, 2022 – Posted in: NEWS – Tags: Kekawin Kebo Tarunantaka
Ningwang tan pwa wihanga tah,
Ring cittanya kaka mada,
Ngke ningwang gawaya yasa,
Lila mati dadi caru
Hamba sama sekali tak menolaknya,
Dengan cita-citamu Kakanda Mada,
Sekarang hamba akan membuat jasa,
Real mati menjadi caru
(Wirama IX, Sloka 6)
Puisi dalam Wirama Vatapathya ini ungkapan keiklasan Kebo Iwa menjalani kematiannya demi cita-cita Gajah Mada, Patih Majapahit untuk mempersatukan Nusantara. Keiklasan ini menjadi tema pokok Kakawin Kebo Tarunantaka. Kakawin ini adalah karya sastra Jawa Kuno yang diciptakan tahun 1987. Karya ini ditulis mendiang Drs. I Nyoman Singgin Wikarman. Mendiang adalah sastrawan klasik yang tekun menulis gaguritan dan kidung. Karya kakawin adalah karya satu-satunya. Sastrawan klasik ini mendapatkan penghargaan Dharma Kusuma pada 14 Agustus 2018.
Karya ini menyiratkan tentang sumbangan Bali terhadap penyatuan Nusantara. Karya ini juga meluruskan cerita-cerita dunia babad yang menyatakan raja Bali sebagai Bedahulu, yang artinya berkepala babi seperti yang diungkapkan dalam Usana Jawa dan Bali. Babad terpengaruh kisah usana tentang raja Bali yang jahat seperti Mayadanawa. Cerita ini terlihat lahir dari kerangka berpikir Jawa yang memenangkan Bali, tetapi raja Bali tidaklah demikian. Kakawin ini menceritakan raja Bali adalah raja yang bijaksana dan disegani raja-raja lainnya. Raja Bali memiliki pengaruh sampai ke pulau-pulau di timurnya sehingga dianggap penting untuk ditaklukan Majapahit.
Kakawin ini dalam kisahnya tentang raja Bali yang bijaksana telah memberikan tandingan terhadap kisah-kisah usana. Tandingan wacana ini memulihkan kepercayaan diri orang Bali yang merupakan keturunan orang-orang besar. Leluhur orang Bali yang telah membangun saluran irigasi yang baik, sehingga Airlangga yang memerintah Jawa pada abad ke-12 Masehi menirunya seperti yang dilukiskan pada Candi Belahan. Leluhur orang Bali juga yang telah membangun tata pemerintahan desa yang baik, seperti diwariskan sampai sekarang menjadi pakraman. Pelajaran itu datang dari mahaguru orang Bali yaitu Rsi Markendya.
Warisan kebijaksanaan ini sama sekali tidak menunjukkan Bali sebagai wilayah yang diperintah penguasa yang jahat. Pada sisi ini, Sang Pengawi telah menangkap makna dari keagungan Bali yang telah dikubur para penulis babad karena pengaruh kisah Mayadanawa. Karena itu, kakawin ini telah mengembalikan kepercayaan diri orang Bali yang berabad-abad dipinggirkan dalam kisah-kisah babad sebagai orang-orang yang inferior dari Jawa. Majapahit (Jawa) memang menaklukan Bali tetapi bukan karena Jawa memiliki kebudayaan yang unggul, tetapi karena Jawa menang jumlah penduduk. Terlepas dari itu semua, Jawa dan Bali perlu bersatu untuk menghadapi musuh yang lebih besar. Hal itu disadari betul para pemimpin Bali seperti Kebo Iwa.
Persatuan Jawa dan Bali ini telah tersusun sejak zaman Mpu Sendok melalui perkawinan. Persatuan ini harus terus dilanjutkan untuk membangun Nusantara yang besar. Cita-cita itu dibangun Shri Kertanagara, Raja Singasari kemudian dilanjutkan pada masa Majapahit. Cita-cita berlanjut sampai Indonesia modern. Pada era modern ini, persatuan menjadi penting untuk membangun kesejahteraan bersama menghadapi persaingan global. Persaingan ini tidak hanya pada era modern ini, tetapi juga telah berlangsung sejak lama, misalnya persaingan dengan pedagang China, Arab, dan India. China sempat mengirim tentara ke Indonesia pada zaman Majapahit. Demikian juga, Chola-India sempat juga mengirim tentara ke Indonesia pada zaman Srivijaya. Sejarah ini membuktikan bahwa Nusantara menghadapi tantangan yang tidak ringan dalam percaturan global, sehingga perlu untuk bersatu. Pada konteks ini, kakawin ini menjadi penting untuk mengingatkan kembali tentang persatuan Nusantara.
Kakawin Kebo Tarunantaka ini diterbitkan Yayasan Wikarman pada tahun 2022. Kakawin ini diberikan pengantar kritis tentang Nusantara Tatva. Pengantarnya ditulis ahli sastra Jawa Kuno, I Made Supartha yang kini menjadi dosen sastra Jawa Kuno pada Universitas Indonesia. Buku ini terdiri dari 70 halaman dengan 18 halaman tambahan (XVIII+70 halaman).